Sahabat Ummi, kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi. Mempersiapkan anak menerima kondisi itu perlu pendekatan yang hati-hati. Salah bicara bisa membuat anak mempunyai pandangan yang keliru tentang kematian.
Kematian neneknya di rumahnya tampak tak terlalu mengganggu Ahmad (7). Tak ada rasa takut menghadapi jenazah seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Dia hanya sedih tak bisa bertemu neneknya lagi. Dia pun tahu setelah itu jasad sang nenek harus segera dimandikan, dikafankan, dishalatkan, lalu dikuburkan. Saat ditanya kemana nenek setelah dikuburkan, ia menjawab, “Nenek ada di alam barzah.”
Entah apa yang ada dalam pikirannya tentang alam barzah. Namun sejak kecil ia memang sudah banyak bertanya tentang kematian. Sesekali dia juga diajak bertakziyah. Dari pengeras suara masjid di dekat rumah ia juga sering mendengar pengumuman tentang kematian warga sekitar. Pelan-pelan kedua orangtuanya menjelaskan tentang kematian dan kesudahannya. Kelihatannya dia mulai mengerti.
Harus ada kondisi nyata
Konsep kematian memang harus dijelaskan kepada anak, kata psikolog Ery Retno Artini Soekresno. Tidak boleh disembunyikan karena setiap orang, sekarang, besok atau kapan pun pasti akan menghadapi kematian.
Untuk menjelaskan konsep kematian pada anak memang harus disertai kondisi kematian yang nyata. “Misalnya ada tetangga meninggal, atau orang yang dia kenal meninggal, itulah momen yang tepat untuk menjelaskan tentang kematian. Kalau nggak ada momen tiba-tiba kita ngomong tentang kematian, itu sangat menakutkan buat anak,” jelas konsultan di beberapa sekolah di Jakarta, Depok, Surabaya dan Bali ini.
Bila memungkinkan, lanjut Ery, ada baiknya anak dibawa serta bertakziyah untuk menunjukkan bahwa kelak kita semua akan seperti itu. Hingga kemudian anak mulai mempersiapkan diri untuk keadaan itu, bahwa kelak orangtuanya – bahkan dirinya sendiri – akan seperti itu.
Sebagian anak dengan daya spiritual yang tinggi akan cepat menangkap hal ini. Sementara sebagian anak lainnya mungkin justru akan ketakutan. Namun, mau tak mau kematian adalah kenyataan yang mesti diterima anak sebagai bagian dari hidupnya. “Ini adalah bagian dari imunisasi psikologis, supaya anak itu punya daya tahan terhadap stres. Bahwa hidup itu pasti ada susahnya, ada sedihnya, ada pahitnya, sehingga anak itu tahan banting. Itu juga bagian agar anak memiliki spiritual yang tinggi. Kalau anak selalu dilindungi, ketika kenyataannya datang dia pasti nggak kuat. Nggak kuat ditinggal orangtuanya,” papar Ery yang tengah menyelesaikan tesis S2 di Buffalo New York State University, jurusan teaching and learning ini.
Untuk menjelaskan soal kematian ini memang perlu diperhatikan perkembangan anak. Misalnya untuk anak di bawah 5 tahun, sebagai orangtua jangan langsung memberitahukan bahwa meninggal itu begini atau begitu. “Kalau saya, biasanya saya coba gali dulu anaknya, sejauh apa dia tahu tentang kematian,” ujar istri dari Irwan Rinaldi ini.
Bila pemahaman yang diterimanya kurang tepat, coba diluruskan kepada pemahaman yang benar. Misalnya saja, kata Ery, anak-anak menganggap meninggal itu seperti tidur. Tambahkan bahwa tidur yang ini berbeda. Kalau tidur biasa, seseorang masih bernafas, tapi kalau meninggal ia tidak bernafas lagi.
Yang kadang menjadi masalah juga bahwa ketika orang sudah meninggal – akibat tontonan tak bermutu – anak-anak menganggap mereka akan jadi pocong, setan dan sejenisnya, hingga kebanyakan anak-anak jadi takut saat orangtua menjelaskan soal kematian. Untuk kondisi seperti ini, menurut Ery, orangtua semestinya mengajak berdialog anak-anak agar jangan terjebak dalam ketakutan seperti itu. Berikan pemahaman dengan sabar agar anak-anak paham bahwa kejadian sebenarnya tak demikian.
Kebanyakan anak sebenarnya juga tak terlalu berminat pada soal kematian itu sendiri. Yang jadi masalah buat mereka justru bagaimana nasib mereka setelah, misalnya, ditinggal orang –orang terdekat mereka. Mereka malah bertanya, kalau ayah meninggal, siapa yang menemaniku bermain nantinya, siapa yang akan membelikan mainan dan sebagainya. Mereka pun harus ditenangkan bahwa banyak yang akan menemani mereka, seperti om, tante dan seterusnya.
Bila menimpa kehidupan si anak
Pendekatan tersendiri harus dilakukan untuk anak-anak yang mengalami langsung peristiwa kematian dalam hidupnya, misalnya kematian ayah atau ibunya atau orang-orang terdekat lainnya. Berikan penjelasan apa adanya. Dengan alasan melindungi perasaan anak, jangan pernah menyesatkan anak dengan perkataan-perkataan yang tidak realistis seperti, ayah sudah di surga, ibu sudah tidur dan sekarang diurus Allahdan sebagainya. Apalagi sampai berbohong hingga menimbulkan harapan kosong yang menyakitkan, misalnya dengan mengatakan, ibu pergi jauh, tapi nanti juga kembali lagi.
Semestinya katakan sejujurnya sesuai perkembangan pemikiran mereka. Untuk anak usia 2 tahun, jelas Ery, anak belum memiliki pengertian, jadi tak perlu dijelaskan. Sementara untuk anak sudah lebih besar, seperti usia 3,5 tahun atau 4 tahun, biasanya anak sudah mengerti bahwa kalau meninggal itu berarti tidak bangun lagi. Namun sampai di situ saja. Soal kenapa dan selanjutnya bagaimana, mereka belum mengerti. “Semakin besar anak, semakin mudah menjelaskan tentang kematian. Karena semakin besar mereka semakin mampu untuk berpikir abstrak,” papar wakil direktur sekolah Komunitas Kebon Maen ini. Menjelaskannya pun tak cukup sekali, perlu waktu berkali-kali.
Dukungan keluarga pada masa-masa sulit ini jelas amat diperlukan. Namun, bila sang ayah yang meninggal, misalnya, biasanya sang ibu pun mengalami kedukaan dan perlu waktu menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Atau kejadian sebaliknya; ibu yang meninggal. Ibu yang bersedih mungkin akan melarang anak-anaknya membuka kembali foto-foto sang ayah, melarang anak membicarakan almarhum ayahnya. “Justru kondisi itu akan berbahaya. Kesedihan itu tak keluar. Maka ia tetap ada di dalam jiwa dan bisa keluar sebagai trauma,” ujar Ery.
Untuk mencegah kondisi itu, semestinya ibu harus menyelesaikan masalah dengan dirinya dulu. “Karena kita nggak akan bisa menolong anak-anak, kalau diri kita sendiri masih punya masalah,” imbuhnya. Namun, karena kondisi tiap orang beda – ada yang mudah menyelesaikan masalah dan ada yang sulit – maka peran keluarga besar pun amat diperlukan untuk mengkondisikan dan mendampingi anak-anak, sementara ibu menyelesaikan masalahnya dulu.
Jangan lupa untuk mengajak anak mendoakan ayah dan ibu yang sudah meninggal atau anggota keluarga lainnya. Jelaskan bahwa kita hanya bisa membantu mereka dengan doa. Itulah yang menurut Ery perlu ditekankan pada anak-anak yang sudah mengalami peristiwa kematian dalam keluarganya.
Mengajarkan konsep kematian pada anak, sebenarnya justru mengajarkan anak-anak untuk siap hidup dengan segala konsekuensinya. Karena pilihannya di dunia ini cuma dua; hidup mulia atau mati syahid. Juga mengajarkan anak untuk selalu berpikir dengan dimensi akhirat, bahwa apapun yang dilakukan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat. “Saya pikir itu akan mengurangi kenakalan remaja, mereka jadi tidak neko-neko,” ujar Ery. Ini akan membuat anak-anak dan remaja untuk selalu memelihara dirinya dalam kebaikan, karena kematian tak ada yang tahu kapan datangnya, kecuali Allah.
(Asmawati/ wawancara: Rosita)
Foto ilustrasi: google
Sumber : http://www.ummi-online.com/perlu-loh-memberitahu-anak-apa-itu-kematian.html