Setelah kisah tentang beberapa Nabi dan mukjizatnya selesai saya ceritakan, Dito, murid privat saya yang duduk di kelas 2 sebuah SD Islam tiba-tiba menanyakan apa mukjizat Nabi Adam. Tanpa pikir panjang saya menjawab, “Beliau manusia pertama yang diciptakan Allah.”
Saya lanjutkan penjelasan mengenai penciptaan Hawa, bagaimana membangkangnya iblis ketika diperintahkan Allah untuk menghormat kepada Nabi Adam, hingga akhirnya Nabi Adam dan Hawa diturunkan dari surga ke bumi, juga tentang janji iblis yang tidak hentinya akan mengajak manusia menjadi ‘temannya’ di neraka kelak. Saya melihat ada banyak tanya di matanya. Tapi dia hanya berujar, “Wow!”
Lalu kami sampai pada kisah Nabi Isa yang atas izin Allah dapat meniupkan ruh pada burung buatan, dan menghidupkan orang yang telah mati, terjadilah dialog antara saya dan Dito:
“Berarti Allah hebat dong. Kereen!”
“Tentu,” jawab saya.
“Kayak Naruto, Ustadzah? Wow!”
“Jauh lebih hebat dari Naruto.”
“Enak dong, kalau mau apa-apa tinggal sret-sret,” ujarnya sambil menggerak-gerakkan tangannya.
“Iya.”
“Kalau gitu, aku pengen jadi Allah saja,” katanya dengan mata berbinar.
“Kenapa?”
“Ya karena hebat,” ucapnya mantap.
“Mas Dito tahu siapa itu Allah?” selidik saya.
“Makanya aku pengen ketemu,” jawab Dito ringan.
Saya lantas teringat kejadian belasan tahun lalu. Keinginan yang sama dengan Dito—ingin bertemu Allah—nyaris membuat saya mati. Ketika tiba-tiba saya berkata, “Bu, saya ingin bertemu Allah!” sambil mengacungkan tangan kepada ibu guru di tengah gaduhnya kelas. “Kalau mau ketemu Allah, harus mati dulu.” Begitu jawaban yang saya terima.
Maka, saat tidur siang saya pun memutuskan untuk ‘mati sebentar’ dengan meletakkan bantal di wajah saya. Kemudian saya tahan napas sekuat tenaga sambil memencet hidung, dan membayangkan bertemu Allah. Entah kenapa yang ada di bayangan saya saat itu malah sosok raksasa Ultraman dan monster batu musuhnya. Gambar bintang dan komet di buku antariksa kakak saya juga bergerak-gerak ruwet di kepala saya. Pusing. Usaha pertama saya gagal. Esoknya saya coba, lagi-lagi gagal. Saya lupa apa yang membuat saya akhirnya menghentikan aksi mati sebentar demi ketemu Allah itu.
Di luar sana, saya pikir, mungkin tidak hanya saya atau Dito yang pernah punya keinginan bertemu dengan Allah, atau bahkan ingin menjadi Allah karena kehebatan-Nya. Anak-anak, alamiahnya memang memiliki daya imajinasi dan rasa ingin tahu yang besar. Namun yang jadi persoalan adalah, bagaimana orang-orang dewasa di sekelilingnya menyikapi keinginan yang dilontarkan anak-anak itu.
Siapkah kita memberi pemahaman yang sebaik-baiknya, sebagai landasan akidah, yang akan selalu lekat dalam ingatan mereka? Atau kita hanya akan mencari jawaban singkat dan sekenanya agar tidak ada lagi pertanyaan terlontar setelah itu? Atau kita hanya tersenyum dan menjawab, Sudahlah, Nak, nanti kalau sudah besar kamu pasti akan tahu sendiri… Jawabannya ada di tangan kita sendiri.
Isnatul Ismi, Surabaya
Foto ilustrasi: google
Sumber : http://www.ummi-online.com/awas-jangan-asal-menjawab-pertanyaan-anak.html