Sahabat Ummi, tahukah apa saja peran vital ayah bagi putra-putranya, dan bagi putri-putrinya, dan apa dampaknya jika peran itu tidak dijalankan? Dua ratus tahun belakangan, dunia mengalami pergeseran peran para ayah. Sayangnya, pergeseran itu justru menjauh dari peran mereka dahulu yang sesesungguhnya lebih ideal.
Sejak Revolusi Industri (akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19), urusan ekonomi menjadi kriteria penentu dalam menakar fungsi seorang ayah. Sehingga, dalam banyak kasus, seseorang telah cukup merasa nyaman dan merasa diri telah menjadi ayah cukup dengan menjalankan perannya sebagai si pencari nafkah buat putra-putrinya—sementara anak-anak tumbuh tanpa mereka dan sebenarnya memendam tanya, “Emang duit doang cukup, Ayah?”
Keterlibatan ayah di rumah (di luar urusan ekonomi) kian menipis. Kalau dulu seorang ayah dengan sadar melibatkan diri mereka dalam urusan rumah tangga (mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak, membantu tugas kerumah-tanggaan), kini ayah lebih suka bekerja di luar rumah, lalu membawa hasil kerjanya (bersama stres, marah-marah, rasa capek, dan sikap cueknya) ke dalam rumah. Porsi kerja di dalam rumah atau mendampingi anak-anak di rumah, jelas semakin menurun.
Alhasil, ayah-ayah zaman sekarang seperti menyandang peran baru yang mirip dengan peran orang-orangan sawah yang mengusir burung tapi buat sementara saja. Kerap kita dengar ibu yang menghardik putra atau putrinya, “Awas, tunggu Ayah kamu pulang” atau “Awas, Ibu bilangin Ayah, baru tahu rasa kamu.”
Kenapa ayah penting
“Kehadiran ayah itu membuat anak menjadi lebih berarti, menjadi lebih tangguh, mempunyai inisiatif,” ungkap Psikolog Elly Risman. Dari ayahlah, si anak belajar memiliki sikap berani dan siap menghadapi risiko. Itu bisa terbaca dari hal sederhana seperti cara laki-laki (ayah) bermain dengan anak-anaknya.
Permainan seorang ayah lebih bersikap fisik, membuat si anak “bekerja” mengelola kekuatan fisik sekaligus rasa takut dan rasa cemasnya—gulat-gulatan, panco-pancoan, tarik-tarikan, kejar-kejaran—sementara permainan yang dipraktikkan sang ibu lebih cenderung bersifat verbal (kebanyakan ngoceh sih), atau dengan menggunakan alat bantu seperti mainan atau boneka.
“Anak kecil itu kalau dipegang sama ibunya, itu hati-hati banget. Kalau dipegang sama ayahnya, dipegang pantatnya dinaikin ke atas. Kalau jatuh lagi, dia tangkap sama tangan kiri. Jadi anak seneng, dia pegang kipas angin, dia pegang bohlam. Tahu enggak, seorang ibu tidak akan melakukan itu” kata Elly lagi.
Alhasil, sang ayahlah yang lebih berperan mengajari bagaimana si anak bisa lepas dari dari bermanja-manja di buaian kasih ibu. Ayahlah yang akan mengajak si anak menghadapi dunia luar dengan lebih berani. Bermain dengan ayah juga membuat anak pandai membaca emosi sang ayah (dan kelak emosi orang lain lagi) melalui ekspresi wajah, tekanan suara, dan bahasa tubuh lainnya. Anak akan tahu, ini Ayah mau mengejar aku beneran atau pura-pura? Dia marah beneran atau pura-pura? Apa Ayah benar-benar nyengir karena kesakitan waktu kugigit lengannya?
Kecerdasannya membaca emosi yang diperoleh dari interaksi yang intens dengan sang ayah ini kelak akan membuat anak mudah mengomunikasikan emosinya sendiri dan membantunya menjalin interaksi sosial yang lebih luas.
Dari perspektif agama, Dr. H. Ahzami Sami’un Jazuli, MA juga menggambarkan hal yang kurang-lebih sama. “Salafus shalih seperti Aisyah, Umar Bin Khattab dan lainnya, dalam riwayat mengatakan, ‘Ajarilah anak-anak laki-laki kamu surat Al-Qital, surat perang, surat perjuangan, dan ajarilah anak perempuanmu surat An-Nur, surat yang berkaitan dengan pentingnya menjaga kehormatan.”
Terlihatlah di sana, bahwa agama menghendaki anak laki-laki itu tumbuh dan dididik secara lebih fisik sifatnya (keayahan) ketimbang anak yang perempuan. Tentu saja maksud “perang” di sana bukan harus dalam bentuk mengajari anak lelaki mahir mengoperasikan Kalashnikov.
“Ketika disebut ‘Ajari anakmu surat Al-Qital’, berarti setiap anak laki-laki itu harus siap menjadi pejuang, mempertahankan kehormatan negaranya, agamanya keluarganya, sehingga seorang anak laki-laki itu menjadi anak-anak yang bermartabat, anak yang dibanggakan keluarganya, dibanggakan organisasinya, yang dibanggakan partainya, karena dia siap melindungi dan mempertahankan eksistensi dari sebuah negara,” urai Ahzami bersemangat.
Pola didikan seperti itulah agaknya yang menjelaskan kenapa kita mengenal lebih banyak “bapak-bapakan” di dunia ini ketimbang “ibu-ibuan”—ada Bapak Ekonomi, Bapak Komunisme, Bapak Fotografi, dan seterusnya. Bapak bangsa atau founding fathers juga lebih banyak jumlahnya—Soekarno-Hatta (Indonesia), Gandhi (India), Bapak Ekonomi Dunia, George washington (AS), Sun Yat-sen (China), Jose Rizal (Filipina), Muhammad Ali Jinnah (Pakistan). Semuanya pejuang dan semuanya mengundang kebanggaan.
Jadi, bisa dibayangkan dampaknya jika seorang anak lelaki kehilangan figur ayah. Bahkan, orang sehebat Rasulullah, meskipun lahir dalam keadaan yatim, bisa dibilang tak pernah lepas dari figur ayah.
“Apabila takdir ayahnya dipanggil Allah,” kata Elly, “yah, contohnya Rasulullah, Allah sudah mencontohkan Rasulullah, harus mencari kakeknya, kek, pamannya, kek. Yah, saudara-saudara ibunya kek. Harus si anak itu dipenuhi kebutuhan jiwanya.”
Ahzami berpendapat sama. “Pendidikan itu adalah kewajiban individu dan kewajiban kolektif. Artinya, ketika individu tidak ada, bapak atau ibu tidak ada, maka secara kolektivitas (masyarakat, red) berkewajiban mendidik anak itu. Bapak ibu enggak ada, yang lainnya—bapak angkatnya, atau kakeknya, atau neneknya, atau keluarga besar. Keluarga besar tak ada, yang berkewajiban adalah negara.” Ahzami menambahkan, sistem pendidikan seperti itulah (ditanggung negara) yang membuat dunia Islam dahulu mampu melahirkan sejumlah ulama besar yang tumbuh tanpa sentuhan ayah kandung.
Ayah ada, tapi tiada
Jiwa anak, baik-laki-laki maupun perempuan, membutuhkan kedekatan dengan sang ayah. Bahkan buat anak perempuan, figur ayah bisa jadi amat menentukan. Ayah merupakan model yang akan dipakainya dalam mengharapkan bagaimana seharusnya suaminya nanti. “Namun paling tidak, bisa membentuk anaknya yang laki-laki menjadi seorang suami dan ayah dan baik” ujar psikolog di Kita dan Buah Hati ini.
Terhadap anak perempuan, ayah harus berperan mengajarkan sifat rasional, supaya sang putrinya tidak terlalu mengandalkan perasaaan. Sedangkan anak laki-laki diajari agar belajar dari ibunya. “Supaya ada perasaan, supaya jangan terlalu rasional, (anak ini) ini kan nanti harus menjadi suami. Terus yang kedua, keimanan seorang ayah mesti kenceng banget,” kata Elly.
Singkatnya, anak perempuan harus dikembangkan keibuannya. Anak laki-laki harus dikembangkan keayahannya. Sayangnya, kini banyak ayah yang abai akan hal ini. “Ada bapaknya, (tapi) pagi-pagi sekali sudah pergi. Pulang malam. Kalau ditanya marah-marah. Secara emosional enggak ada, secara spiritual juga enggak ada. Dia panggilin guru ngaji untuk ngajar anaknya. Dia enggak pernah bercerita, minimal dia bercerita bagaimana masa dulu ayah. Dia enggak pernah sempat bermain. Entar, yah, ayah repot banget, entar…entar…” kata Elly memperingatkan.
Anak yang dibiarkan hanya mendapat sisa-sisa waktu dari sang ayah pada akhirnya akan merasakan hambarnya figur ayah buatnya. “Jadi akhirnya sama aja dengan (ayah) mati aja sekalian. Bisa dicari lainnya,” kata Elly. “Daripada dia begitu, berayah dia ada, berayah dia tiada. Ada juga marah-marah. Jadi, ada fisik tapi tidak ada secara emosional, tidak ada secara spiritual. Lebih parah daripada dia ketahuan jadi anak yatim. Karena dia berharap sama ayahnya, tapi enggak terpenuhi.”
Setengah mati
Namun, menurut Elly, membuat ayah menjadi sesosok “ayah” itu memang setengah mati susahnya, karena besar kemungkinan si ayah itu memang sejak kecil juga dibesarkan tanpa figur teladan. “Makanya kita itu jadi ayah, jadi orang itu harus hati-hati banget. Kita harus lebih sering menanyakan kepada diri kita, apa yang dipelajari anakku dan ayahnya. Atau, kita jadi ibu, kita mesti bertanya sama diri kita, apa yang dipelajari anakku dari ibunya.”
Karena mendidik anak merupakan kewajiban orangtua, maka orangtualah yang paling bisa disalahkan jika si anak gagal dalam hidup. Gagal yang kita maksud adalah bila si anak jauh dari perilaku islami. “Seandainya ada istilah gagal dalam pendidikan anak kita, adalah ketika dia tidak terbentuk kepribadian keislamannya. Karena tidak sedikit orang yang tidak sampai perguruan tinggi tapi luar biasa kehidupanya. Sebaliknya, sampai doktor tapi membahayakan keluarganya, membahayakan negaranya,” ungkap Ahzami.
Namun, seandainya kegagalan itu terjadi, siapa yang paling bertangung jawab, ayah atau ibu?
“Sudah barang tentu yang paling bertanggung jawab adalah orang yang paling menyia-nyiakan anaknya, yang paling tidak peduli pada anak-anaknya, bisa jadi bapaknya bisa jadi ibunya,” jawab Ahzami. “Jadi kriterianya, siapa yang paling tidak perhatian. Jadi ketika ada bapak yang cuek saja ketika anak pulang sekolah, tidak ditanya ‘Nak, ada PR enggak?’ Sekolah dibiarin aja. Maunya anaknya (dapat) ranking padahal di rumah tidak pernah ditanya. Kalau yang seperti itu bapaknya, ya bapaknya yang paling bertanggung jawab.”
Lantas bagaimana pula dengan kasus yang dialami Nabi Nuh, misalnya, yang harus mendapati pembangkangan dari putranya sendiri? Apakah beliau termasuk orang yang gagal mendidik putranya?
“Dalam Al-Quran tidak ada satu ayat pun yang mengatakan bahwa Nabi Nuh itu gagal, padahal istrinya, anaknya tidak beriman,” tegas Ahzami. “Kenapa? Karena, oh dia ternyata sudah berdakwah siang-malam, ‘Sesungguhnya aku berdakwah pada kuaumku (termasuk anak dan istriku) siang dan malam.’”
Jelas, dengan ikhtiar yang maksimal seperti ini, tak disebut gagal-lah diri Nabi Nuh a.s sebagai kepala keluarga dan sebagai ayah, karena beliau toh sebagaimana tertuang dalam surat Nuh ayat 5, sudah menunaikan tugasnya, siang dan malam.
Hmm, siang dan malam? Bagaimana dengan kita?
Sumber : http://www.ummi-online.com/inilah-alasan-perlu-ada-sosok-ayah-untuk-anak.html