Sahabat Ummi, label ‘nakal’ sering dilekatkan pada anak-anak. Betulkah anak yang nakal atau orangtua yang telah salah asuh?
Kisah kaburnya bocah berusia 9 tahun dari rumahnya yang juga membawa kabur uang ayahnya sebesar 10 ribu dolar AS beberapa tahun lalu sempat bikin heboh. Anak yang dikabarkan kabur karena dihukum ibunya lantaran tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR), akhirnya kembali setelah empat hari menghilang. Seolah tanpa beban, ia tetap ceria saat diinterogasi polisi perihal kepergiannya. Namun, yang mengejutkan, saat ditanya dimana letak Hotel Tulip tempatnya menginap saat menghilang, ia menjawab enteng “Tanya aja sama setan!” Jawaban itu terlontar enteng beberapa kali saat diwawancara.
Segepok uang yang dibawanya pun amblas. Saat pulang, di kantongnya hanya tersisa 500 ribu rupiah. ia tidak bisa menjelaskan kemana saja uang itu ia belanjakan. Sebagian uangnya ia belanjakan MP3, Playstation 3, dan ponsel di Blok M. Cerita guru dan karyawan tempat siswa kelas empat bersekolah pun tak kalah mengejutkan. Bocah tersebut terkenal royal dan biasa mentraktir teman-temannya beberapa kali dalam seminggu. Anehnya, ia juga suka mengurung diri di WC sekolah dan tidak mau keluar sampai mendapat uang Rp 2000.
Apa yang melatarbelakanginya berbuat seperti itu? Mengapa ia sangat materialis? Banyak yang menganggap bocah tersebut anak yang nakal. Betulkan tudingan itu?
Nakal atau tidak sesuai harapan?
Rahmi Dahnan, Psi, Kepala Bagian Akademik PGTKI Bina Insan Kamil, mengatakan bahwa dalam pengertian psikologi sebenarnya tidak ada anak yang nakal. Hanya ada anak yang belum berakal. Menurutnya, yang dimaksud dalam kategori nakal dalam masyarakat adalah bila tingkah lakunya tidak sesuai dengan harapan orangtua atau pun masyarakat. Mengacu pada kasus di atas, ada rangkaian pertanyaan yang menggelitik. Mengapa ia kabur dari rumah di malam hari? Mengapa ia berani membawa kabur uang ayahnya dalam jumlah yang fantastis untuk anak seusianya? Kok, ia bisa tahu cara menukar uang dolar di money changer? Mengapa ia suka mentraktir teman-temannya? Mengapa ia suka ngumpet di kamar mandi? Mengapa ia menjawab dengan jawaban seenaknya ‘tanya sama setan’?
Tentunya, deretan pertanyaan tersebut melabrak nilai dan norma yang berlaku umum di masyarakat. Karena tidak sesuai, maka banyak orang berpendapat ia tergolong anak yang nakal.
Rahmi menegaskan, pada setiap komunitas pasti memiliki harapan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Jadi, bila orangtua berharap agar anaknya bertingkah laku sesuai dengan harapan orangtua dan masyarakat, maka harus ada proses transformasi nilai. Tidak adil bila orangtua berharap anaknya mengerti harapannya, namun belum pernah ada proses penanaman nilai. Atau, dilakukan dengan cara pemaksaan. Sebagai seorang muslin jelas harapan kita sebagai orangtua adalah menginginkan anak memiliki akhlak yang mulia.
Terkait dengan apa yang terjadi pada bocah berinisial F tersebut, “Dia tidak tahu aturan. Kenapa dia tidak tahu aturan? Karena dia tidak diajari oleh orangtuanya. Jadi bukan karena anak itu nakal,” imbuhnya. Rahmi menambahkan, anak yang tidak diajari tentang aturan tidak sadar kalau ia melakukan kesalahan. Jadi, meskipun banyak orang yang kaget dengan apa yang dilakukannya, ia tetap santai.
Prioritas pada 5 tahun pertama
Bila orangtua bisa memanfaatkan momen usia 0-5 tahun dengan baik, insya Allah anak bisa menjadi bintang dan memiliki kemandirian. Termasuk mandiri dalam menjalankan aturan-aturan yang sudah terinternalisasi sejak kecil. Orangtua dan guru anak usia dini perlu mensosialisasikan nilai dengan berbagai hal, seperti membaca buku, mendongeng, drama atau simulasi. Bila proses ini berjalan dengan baik, anak-anak akan tumbuh menjadi anak yang mandiri, tulus, suka belajar, bersih, empati dan berhati nurani.
Bagaimana caranya mengajarkan anak mandiri dengan aturan dalam keluarga dan masyarakat? Pertama, ada proses pengajaran secara bertahap sesuai dengan usianya. Tahapan mengajarkan mana yang boleh dan mana yang tidak seharusnya sudah dilakukan saat anak berusia di bawah 5 tahun. Di usia 5 tahun anak sudah tahu bahwa ia tidak boleh mengambil mainan orang lain, misalnya. Di usia 9 tahun, anak sudah tidak lagi disosialisasikan ini boleh atau tidak sebagaimana balita. Namun, proses mengingatkan tetap terus berlangsung.
Kedua, teladan. Anak melihat sikap teladan orangtua. Berikanlah kalimat-kalimat yang baik. Di usia 0 – 5 tahun anak akan menyimpan jejak memori yang dilihatnya dari lingkungan terdekat. Teladan dalam berbicara yang baik akan tersimpan di dalam memori anak dan mempengaruhi tingkah lakunya. Rahmi mengingatkan agar orangtua berhati-hati dengan modeling yang didapat anak dari media. Menurutnya, banyak adegan TV yang memberikan contoh yang buruk, seperti kekerasan dalam bentuk fisik atau kata-kata. Sebagai langkah antisipatif, orangtua perlu memilih program TV, mendampingi anak menonton TV dan batasi waktu menontonnya. Begitupun dengan playstation dengan adegan-adegan kekerasannya.
Selain itu, Rahmi mengungkapkan ada dua kesalahan orangtua modern saat ini yang menjadi penyebab adanya kesalahan pola asuh. Pertama, banyak orangtua yang tidak pernah mentransfer nilai-nilai agama kepada anaknya melalui teladan tingkah laku maupun kata-kata. Kesalahan ini terjadi karena pengetahuan tentang agama yang minim. Kedua, orangtua tidak pernah bercerita dan bermain, serta bernyanyi dengan anak. Padahal, kegiatan tersebut sangat baik untuk mendekatkan diri dengan anak-anak dan anak juga merasa nyaman bersama orangtuanya. Melalui kegiatan bersama itu, orangtua bisa mentransfer nilai-nilai dan aturan dengan cara yang menyenangkan. Karena kesalahan ini, banyak anak yang tidak bisa berkonsentrasi, tidak disiplin, tidak mandiri, dan acap berkata kasar.
Introspeksi dan kerja lebih keras
Bagaimana jika usia anak sudah lebih dari 5 tahun dan kita baru menemukan ada yang tidak beres dengan tingkah lakunya? Tentu saja tidak ada kata terlambat. Namun, mengubah perilaku yang sudah terbentuk dan menanamkan nilai-nilai pada anak yang sudah besar tidak semudah anak di usia balita. Artinya, setelah introspeksi, orangtua perlu menyadari bahwa ia harus berusaha sangat keras dan konsisten.
Introspeksi perlu dilakukan orangtua setiap saat, apalagi bila ada indikasi penyimpangan perilaku seperti yang terjadi pada kasus di atas. Bagaimana kedekatan orangtua dengan anak? Pola komunikasinya? Pahami gejolak dan perasaannya. Mengapa ia tidak nyaman di rumah? Dan seterusnya. Kejadian itu sangat mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak kondusif di dalam keluarga. Introspeksi ini sekaligus menggiring bahwa sebenarnya bukan anak yang nakal, namun ia hanyalah korban dari keadaan di sekelilingnya yang menyebabkan ia menjadi korban.
Usaha yang lebih keras tentu saja harus dilakukan karena ini adalah sebuah terapi. Bukan tidak mungkin orangtua tidak bisa melakukannya sendiri, namun perlu bantuan tenaga ahli. Yakinlah tidak ada kata terlambat. Dengan usaha keras dan tidak mengulangi kesalahan serta doa yang tiada putus, Allah pasti akan membantu.
Sumber : http://www.ummi-online.com/anak-nakal-kemungkinan-karena-salah-pola-asuh.html