Sudahkah Kita Didik Anak untuk Menjadi Penolong Kita di Akhirat?

Sudahkah Kita Didik Anak untuk Menjadi Penolong Kita di Akhirat?

Sudahkah Kita Didik Anak untuk Menjadi Penolong Kita di Akhirat?
Sudahkah Kita Didik Anak untuk Menjadi Penolong Kita di Akhirat?

Sahabat Ummi, banyak anak, banyak rezeki. Begitu kata pepatah. Agama membenarkannya, hanya, rezeki itu tak selalu menjelma dalam harta. Bahkan, bukan itu jelmaan yang utama.

Akhirat adalah masa penuh huru-hara. Hari itu hampir semua jiwa berada dalam ketakutan. Seperti yang dilukiskan Allah swt dalam surat An-Nazi’at ayat 8-9, “Hati manusia saat itu merasa sangat takut. Pandangannya tunduk.”

Bagaimana tidak, pada hari itu semua manusia akan menerima pembalasan dari apa yang mereka lakukan saat di dunia. Sedangkan, kebanyakan manusia menyangkal akan hadirnya hari pembalasan itu sehingga mereka menuruti hawa nafsunya saat hidup. Keterkejutan dan rasa takut akan balasan semakin memuncak ketika mereka dihampiri oleh malaikat-malaikat yang sangat tegas dengan rupa menakutkan yang menyeret mereka ke hadapan Allah swt untuk diadili.

Saat itu manusia tidak memiliki penolong dari balasan atas amal buruk mereka. Setiap manusia tidak lagi berpikir untuk membantu satu sama lain, karena mereka sudah amat cemas dengan diri mereka masing-masing. Sahabat tidak akan membantu sahabatnya, suami tidak ingin melindungi istrinya, ayah tidak berhasrat menolong anaknya, dan sebaliknya. Kecuali, bagi mereka yang sejak di dunia sudah berinvestasi untuk mempersiapkan pertolongannya.

Sebaik-baik Investasi

Investasi macam apakah yang bisa menolong kita saat hisab-Nya yang Mahateliti meliputi diri kita? Mubaligh yang juga aktif sebagai konsultan pernikahan, Dr H Ade Purnama, MA menyampaikan bahwa investasi yang dimaksud adalah anak yang shalih. Ia tidak hanya mendatangkan manfaat di dunia, tapi juga di akhirat. Bila pandai mendidiknya, anak bisa memberikan kita pertolongan saat berhadapan dengan Allah swt di hari perhitungan. “Investasi di dunia adalah anak akan menjadi qurota’ayun, anak yang menenteramkan mata hati kita,” ujar Ade. “Sedangkan investasi akhirat adalah bagaimana anak menjadi penyelamat di hadapan Allah swt,” tambahnya.

Di riwayat yang lain juga disebutkan bahwa anak shalih bisa memanjangkan usia. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menangguhkan umur seseorang apabila ia telah sampai ajalnya. Penambahan umur itu hanyalah apabila menganugerahkan keturunan yang shalih kepada seorang hamba. Orangtuanya didoakan maka sampailah doanya ke alam kuburnya,” (HR Hakim dari Abu Darda’).

Sebelum masa perhitungan tiba pun, doa anak yang shalih untuk orangtuanya bahkan sudah mendatangkan manfaat saat orangtua masih di alam kubur. “Seperti yang digambarkan dalam sebuah hadits, saat ada di alam kubur seorang hamba mendapati kuburnya tiba-tiba menjadi terang benderang. Ia bertanya pada malaikat, ‘Ada apa ini?’ Kata malaikat, ‘Anakmu mendoakanmu dan dia anak yang shalih,’” tutur Ade. Tak hanya doa, amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang anak yang shalih dari hari ke hari juga akan terus mendatangkan pahala bagi orangtuanya meskipun mereka sudah terbaring di liang lahat. Rasulullah saw bersabda, “Apabila manusia mati, terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan untuk orang tuanya,” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Yang juga menjadi keutamaan luar biasa dari anak shalih, menurut Ade, adalah mereka bisa memberikansyafa’at (pertolongan) pada orangtua dan keluarganya di hari kiamat. “Bila mereka hafal Qur’an atau syahid, mereka bisa memberikan syafa’at pada orangtua dengan izin Allah,” jelas Ketua DPD Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Jakarta Utara ini.

Keshalihan Menyeluruh

Mungkin kita bertanya-tanya, apa sebenarnya ciri dari anak yang shalih? Apakah semata-mata rajin beribadah? Ade berpandangan, keshalihan jauh lebih luas dari itu. Keshalihan bukan semata-mata rajin beribadah atau hafal Qur’an, tapi mencakup seluruh aspek kepribadian. “Ciri keshalihan bisa dilihat dari 10 karakteristik muslim yang baik, yaitu akidah yang selamat, ibadah yang benar, akhlaknya baik, berwawasan luas, mandiri, pandai merawat kesehatan, disiplin, mampu mengatur urusan-urusannya, tidak mengumbar nafsu, dan bermanfaat bagi orang lain,” paparnya.

Untuk membentuk keshalihan seperti ini tentu diperlukan pendidikan yang wajib dilakukan oleh orangtua. Kesepuluh karakter tadi bisa dibina sejak kecil, tentu saja dengan bobot yang sesuai dengan setiap fase usia. Ade memberikan tiga prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam mendidik. “Pertama, keteladanan. Ini adalah metode pendidikan yang paling efektif. Anak jangan terlalu sering diceramahi, tapi langsung saja berikan contoh.” Jadi, bila orangtua ingin anaknya bisa mengembangkan sepuluh karakter tadi dengan baik, artinya orangtua pun harus berlatih untuk mempraktikkannya dan menunjukkannya di depan anak.

Kedua, mendidik dengan nasihat yang baik dan lembut. “Seringnya orangtua bukan memberi nasihat, tapingomelin. Itu keliru,” tegas Ade. Padahal, Rasulullah saw selalu mencontohkan pada para sahabat dengan memperlakukan anak-anak dengan lembut dan penuh kasih-sayang.

Terakhir, sambung Ade, sering-dering mendoakan anak. Doa adalah penyambung cinta dan harapan. Lantunkan doa untuk anak sesering mungkin. Sesekali lantunkan doa itu di depan sang anak. Anak yang melihat orangtuanya mendoakannya akan sangat tersentuh dan momen itu akan terus melekat dalam benaknya. Secara alami akan timbul dalam hatinya niat untuk merealisasikan doa orangtuanya.

Membangun Kedewasaan

Ade juga mengingatkan orangtua untuk tidak lupa memberikan wawasan yang lebih fundamental tentang hidup, pengetahuan tentang dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pulang. Namun, berikan wawasan itu di saat yang tepat. “Ada masanya. Kalau masih anak-anak, jangan diajarkan yang berat-berat, kasih saja contoh bagaimana beribadah yang benar. Saat dia sudah 10 tahun, baru bisa mulai diajarkan secara bertahap,” anjurnya.

Salah satu cara yang bisa orangtua lakukan untuk membangun kedewasaan anak adalah dengan melatih mereka bergaul dengan orang shalih yang lebih tua dari mereka. Rasulullah saw mencontohkan ini dalam salah satu hadits. “Saya menyaksikan khalful muthayyabin (kesepakatan untuk saling membantu) bersama paman-paman sewaktu saya masih kanak-kanak. Tidak melanggarnya lebih saya cintai daripada unta merah,” (HR Bukhari,Kitab Al-Adab).

Namun, bagi Ade, yang terpenting di awal adalah penanaman kecintaan pada ibadah. “Misalnya, tanamkan pada anak bahwa kita shalat supaya Allah sayang pada kita. Kalau Allah sudah sayang, Insya Allah kita dimasukkan ke surga dan selamat di dunia dan di akhirat,” pungkasnya. Mudah-mudahan dengan kecintaan mereka pada ibadah, kelak akan membantu meringankan hisab kita di hadapan Allah.

Pesan Al-Ghazali dalam Mendidik Anak

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Sang Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali rahimahullah mempunyai satu pesan sederhana namun penting, yang perlu diperhatikan orangtua dalam memberikan pengajaran pada anak yang berusia 4-10 tahun. “Setelah selesai belajar, anak hendaknya dibiarkan bermain dengan permainan yang bagus yang bisa merelaksasi kelelahan belajar. Karena mencegah anak dari bermain dan memaksanya terus belajar akan mematikan hatinya, menghilangkan kecerdasannya, dan menyempitkan hidupnya, sehingga ia berupaya keluar dari jeratan tersebut. Biasakanlah anak siang hari dengan berjalan, bergerak, dan berolahraga, sehingga hilang sifat malasnya.”

Sumber : http://www.ummi-online.com/sudahkah-kita-didik-anak-untuk-menjadi-penolong-kita-di-akhirat.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *